Friday 27 May 2016

Cerita di Balik ‘Pahit’nya Kenangan Masa Kecil


Jamu merupakan bagian dari obat tradisional yang digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat di Indonesia serta dipercayai manfaatnya terhadap kesehatan manusia. Dengan melihat khasiat dan manfaat fungsionalnya, maka tidak heran jika jamu banyak dikembangkan menjadi minuman fungsional. Selain itu adanya Gerakan Bugar dengan Jamu yang digagas oleh Menkes RI memberikan peluang berkembangnya industri jamu di Indonesia. Target yang ingin dicapai melalui gerakan tersebut adalah menghasilkan produk jamu yang aman, bermutu, bermanfaat, membudayakan minum jamu, nilai tambah dan meningkatkan daya saing serta kesejahteraan pelaku usaha jamu dan masyarakat Indonesia.
Sedangkan bagi saya pribadi, sepertinya jamu terasa tidak asing di telinga. Tumbuh dan besar dengan budaya Jawa yang kental dengan tradisi mengkonsumsi jamu secara rutin. Saya mulai mengenal jamu bahkan semenjak belum mengerti apa itu jamu. Tradisi di keluarga saya memang akan mengenalkan jamu kepada anaknya semenjak dini. Diawali dari jaman minum jamu masih menggunakan cara yang sangat tidak masuk akal yaitu jamu cekok-an. Bagaimana cara mengkonsumsinya? Racikan jamu diletakkan dalam selembar kain dan kemudian diperaskan secara paksa kepada bayi dan anak-anak, tentu diiringi dengan tangisan dan pemberontakan. Dengan cara seperti itu, tidak heran jika hanya satu kata yang kemudian menempel tentang jamu di masa kecil, yaitu jamu itu -pahit- dan tidak enak.
Meskipun memiliki kenangan yang ‘buruk’ tentang jamu. Namun hal tersebut tidak akan menyurutkan tekat orang tua saya untuk menghentikan konsumsi jamu pada anak-anaknya. Berbagai trik akan dilakukan agar saya meminumnya. Dan salah satu cara paling ampuh adalah dengan menggunakan ‘legen’ , yaitu air gula yang digunakan untuk menetralisir rasa pahit dari jamu tersebut. Sehingga jangan heran jika hal yang justru digemari oleh anak-anak ketika meminum jamu adalah ‘legen’-nya. Hal tersebut masih berlaku bagi saya hingga saat ini.
Menjadi asisten peneliti dalam bidang jamu merupakan salah satu kesempatan emas dalam hidup saya. Bagaimana tidak? memperoleh kesempatan tinggal selama 10 hari untuk belajar dan mengenal lebih dekat dengan jamu secara langsung di kampung jamu. Kmpung Jamu? Iya. Teretak di Desa Nguter Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Daerah ini merupakan sentra produksi jamu terbesar di Indonesia, sekaligus pusat perdagangan jamu terbesar se-Asia Tenggara. Melihat dan belajar langsung tentang pembuatan dan pemasaran jamu secara langsung dengan ahlinya. Mengenal berbagai bahan yang digunakan untuk membuat racikan jamu, belajar tentang bermacam-macam jenis jamu, hingga berbagai nama dagang jamu yang ‘menggelitik’. Dan kemudian saya sadar bahwa jamu bukan hanya tentang menjaga dapur tetap mengebul, tapi lebih dari itu jamu merupakan tradisi yang mereka jaga dari jaman ke jaman.
Sedangkan apabila dikaji secara ilmiah, jamu merupakan pangan fungsional yang sedang naik daun dan sangat potensial untuk dikembangkan saat ini. Berdasarkan data BPOM RI, di Indonesia saat ini tercatat sekitar 1.400 pelaku industri obat tradisional. Sekitar 1.380 merupakan industri kecil dan hanya 80 yang sudah masuk skala industri relatif modern. Sementara itu, dari sekitar 1.380 pelaku industri tersebut hanya 9 unit yang sudah memiliki sertifikat CPOTB (Cara Pengolahan Obat Tradisional yang Baik). Untuk itu perlu tangan-tangan modern dari manusia-manusia terdidik negeri ini untuk ‘mengangkat’ nilai warisan leluhur bangsa ini.
---

SELAMAT HARI JAMU NASIONAL – Terimakasih telah memberikan memori tentang rasa pahit, sehingga sekarang saya merasa lebih siap ketika perjalanan hidup terasa tidak manis

Tuesday 3 May 2016

Ibu – ‘Gate Keeper’ Keamanan Pangan Keluarga

Laporan tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011 menyebutkan bahwa penyebab KLB Keracunan Pangan terbesar di Indonesia adalah pangan olahan rumah tangga yaitu sebanyak 58 kejadian (45.31%). Sehingga kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga sebagai gate keeper (penyaring informasi) dalam menjaga keamanan pangan keluarga menjadi sangat penting. Sebab resiko keamanan pangan terhadap kesehatan konsumen semakin tinggi ketika konsumen kurang memiliki pengetahuan tentang pengolahan pangan yang baik sehingga konsumen terbiasa dengan cara pengolahan pangan yang salah (Maimun 2013).
Paragraf tersebut adalah cuplikan latar belakang yang saya gunakan dalam penyusunan proposal penelitian tugas akhir sebagai syarat lulus bagi seorang sarjana. Memang terlihat sepele dan sedikit menyimpang dari ‘kebiasaan’ topik penelitian-penelitian yang biasanya dipilih oleh mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan. Saya memang telah mendapatkan semua teori tentang keamanan pangan dan seluk-beluk industri pangan lainnya. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah ilmu yang saya peroleh selama hampir empat tahun tersebut hanya sebatas teori saja bukan praktik langsung di masyarakat. Dan inilah liku-liku cerita yang akan mengiringi perjalanan panjang tugas akhir saya.
Minimnya pengalaman saya dalam penelitian di bidang sosial kemasyarakatan, serta keterbatasan dalam hal kemampuan bahasa Sunda membuat awal-awal perjalanan di Desa Puraseda terasa berat. Bagaimana tidak, satu-satunya pengalaman saya terjun langsung di masyarakat adalah ketika ‘menyelundup’ pada program KKN-P (Kuliah Kerja Nyata Profesi) dari Fakultas sebelah. Iya hanya menyelundup, karena di departemen (jurusan) saya memang tidak terdapat program KKN-P tersebut. Sedangkan untuk kemampuan Bahasa Sunda saya? Jangan ditanya.
Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Ada yang sudah pernah mendengarnya atau bahkan sudah pernah berkunjung kesana? Desa ini terletak di ‘pelosok’ Kecamatan Leuwiliang, yaitu dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam dari Kampus IPB Dramaga dengan menggunakan kendaraan pribadi. Bentangan sawah yang menghijau, suara aliran sungai yang menenangkan, serta gunung-gunung yang berbaris rapih merupakan gambaran keindahan dari desa ini. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencarian sebagai petani dan tidak sedikit pemudanya yang mengadu nasib sebagai perantau di Ibu Kota. Sedangkan para ibu merupakan ibu rumah tangga biasa dengan rata-rata pendidikan hanya lulus Sekolah Dasar (SD).
Seminggu setelah kegiatan intervensi (penyuluhan) tentang Keamanan Pangan Keluarga, saya datang kembali untuk melaksanakan kegiatan monitoring atau fasilitasi. Dengan cara berkunjung dari satu rumah responen ke responden yang lain yang berjumlah tidak kurang dari 30 keluarga. Bertamu seperti biasa, melihat kegiatan para Ibu dalam menyiapkan makanan untuk keluarganya sembari mengobrol. Dan hal yang membuat saya tercengan adalah ketika saya bertanya :
“Gimana Teh, penyuluhan kemarin ada manfaatnya apa tidak? Apa yang disampein diterapin dirumah gak Teh?
Kebanyakan mereka menjawab seperti ini (tentu dalam bahasa Indonesia yang banyak bercampur dengan Bahasa Sunda).
“Sekarang Ibu teh udah gak beli telur yang retak lagi neng meskipun lebih murah, takut”, jawab salah seorang responden. Sedangkan responden yang lain menjawab seperti ini,
 ”Iya sekarang udah gak sayang-sayang lagi Neng buang makanan kalau itu udah kadaluarsa, Ibu lihat tanggalnya dulu”.
Ada juga yang menjawab seperti ini , “Saya udah nyiapin sabun cuci tangan di kamar mandi biar semua pada cuci tangan neng kalo habis buang air sama pas mau makan”.
Sederhana memang, tapi rasanya bahagia mendengar jawaban mereka. Bahagia karena ilmu yang disampaikan bermanfaat untuk mereka. Bahagia karena saya merasa ikut andil memberi sedikit manfaat untuk orang lain, jadi ilmu yang saya dapatkan selama ini bukan hanya sekedar deretan huruf mutu di atas kertas transkrip saja. Lebih dari itu, ilmu akan berguna jika mampu memberi manfaat untuk banyak orang. 


(bersambung)