Laporan
tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011 menyebutkan bahwa
penyebab KLB Keracunan Pangan terbesar di Indonesia adalah pangan olahan rumah
tangga yaitu sebanyak 58 kejadian (45.31%). Sehingga kesadaran dan perilaku ibu
rumah tangga sebagai gate keeper (penyaring informasi) dalam menjaga keamanan
pangan keluarga menjadi sangat penting. Sebab resiko keamanan pangan terhadap
kesehatan konsumen semakin tinggi ketika konsumen kurang memiliki pengetahuan
tentang pengolahan pangan yang baik sehingga konsumen terbiasa dengan cara
pengolahan pangan yang salah (Maimun 2013).
Paragraf tersebut adalah cuplikan latar
belakang yang saya gunakan dalam penyusunan proposal penelitian tugas akhir sebagai
syarat lulus bagi seorang sarjana. Memang terlihat sepele dan sedikit
menyimpang dari ‘kebiasaan’ topik penelitian-penelitian yang biasanya dipilih
oleh mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan. Saya memang telah mendapatkan semua
teori tentang keamanan pangan dan seluk-beluk industri pangan lainnya. Namun,
yang perlu digaris bawahi adalah ilmu yang saya peroleh selama hampir empat
tahun tersebut hanya sebatas teori saja bukan praktik langsung di masyarakat.
Dan inilah liku-liku cerita yang akan mengiringi perjalanan panjang tugas akhir
saya.
Minimnya pengalaman saya dalam
penelitian di bidang sosial kemasyarakatan, serta keterbatasan dalam hal
kemampuan bahasa Sunda membuat awal-awal perjalanan di Desa Puraseda terasa
berat. Bagaimana tidak, satu-satunya pengalaman saya terjun langsung di masyarakat
adalah ketika ‘menyelundup’ pada program KKN-P (Kuliah Kerja Nyata Profesi)
dari Fakultas sebelah. Iya hanya menyelundup, karena di departemen (jurusan)
saya memang tidak terdapat program KKN-P tersebut. Sedangkan untuk kemampuan
Bahasa Sunda saya? Jangan ditanya.
Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor. Ada yang sudah pernah mendengarnya atau bahkan sudah pernah
berkunjung kesana? Desa ini terletak di ‘pelosok’ Kecamatan Leuwiliang, yaitu
dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam dari Kampus IPB Dramaga dengan
menggunakan kendaraan pribadi. Bentangan sawah yang menghijau, suara aliran
sungai yang menenangkan, serta gunung-gunung yang berbaris rapih merupakan
gambaran keindahan dari desa ini. Sebagian besar masyarakatnya bermata
pencarian sebagai petani dan tidak sedikit pemudanya yang mengadu nasib sebagai
perantau di Ibu Kota. Sedangkan para ibu merupakan ibu rumah tangga biasa
dengan rata-rata pendidikan hanya lulus Sekolah Dasar (SD).
Seminggu setelah kegiatan intervensi (penyuluhan) tentang Keamanan
Pangan Keluarga, saya datang kembali untuk melaksanakan kegiatan monitoring atau fasilitasi. Dengan cara
berkunjung dari satu rumah responen ke responden yang lain yang berjumlah tidak
kurang dari 30 keluarga. Bertamu seperti biasa, melihat kegiatan para Ibu dalam
menyiapkan makanan untuk keluarganya sembari mengobrol. Dan hal yang membuat
saya tercengan adalah ketika saya bertanya :
“Gimana
Teh, penyuluhan kemarin ada manfaatnya apa tidak? Apa yang disampein diterapin
dirumah gak Teh?
Kebanyakan mereka menjawab seperti ini
(tentu dalam bahasa Indonesia yang banyak bercampur dengan Bahasa Sunda).
“Sekarang
Ibu teh udah gak beli telur yang retak lagi neng meskipun lebih murah, takut”, jawab salah seorang responden.
Sedangkan responden yang lain menjawab seperti ini,
”Iya sekarang udah gak sayang-sayang lagi Neng
buang makanan kalau itu udah kadaluarsa, Ibu lihat tanggalnya dulu”.
Ada juga yang menjawab seperti ini , “Saya udah nyiapin sabun cuci tangan di kamar
mandi biar semua pada cuci tangan neng kalo habis buang air sama pas mau makan”.
Sederhana memang, tapi rasanya bahagia
mendengar jawaban mereka. Bahagia karena ilmu yang disampaikan bermanfaat untuk
mereka. Bahagia karena saya merasa ikut andil memberi sedikit manfaat untuk
orang lain, jadi ilmu yang saya dapatkan selama ini bukan hanya sekedar deretan
huruf mutu di atas kertas transkrip saja. Lebih dari itu, ilmu akan berguna
jika mampu memberi manfaat untuk banyak orang.
(bersambung)
0 komentar:
Post a Comment