Saturday 12 May 2018

BUKU, JENDELA ILMU TANPA BATAS


Data dari UNESCO (2012) menyebutkan bahwa presetase minat baca anak Indonesia sebesar 0.001 %, yang artinya dari 1.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca.

Beberapa hari yang lalu saya menulis fakta tersebut di Instagram story dengan latar berupa foto rak buku di salah satu kelas di SDN 02 Tirtayasa Banten yang kondisinya memprihatinkan, ya jumlah bukunya bisa dihitung jari dan kondisinya sebagian besar sudah tidak bersampul dan telah berubah warna kertasnya, raknya pun sudah rapuh, hmm mungkin sudah uzur usianya.

Rak buku di salah satu kelas di SDN Tirtayasa 2 Serang Banten

Dan setelah itu, berdatanganlah beberapa DM (Direct Massage) ke instagram saya, sebagian besar berkomentar seperti ini :

Ah kayaknya salah deh cha! Itu UNESCO ngambil datanya dari mana? Yakin udah mewakili kondisi satu negara?
Anak-anak Indonesia suka baca kok cha! Anak Milenial mah bacanya udah digital sekarang, tuh buktinya hobi bacain IG story kaya gini, postingan akun lambe-lambean bahkan mantengin kolom komentar IG artis buat bacain nyinyiran dan komen julid dari netijen. Haha *ketawa jahat ; ini sindiran ya :(

Nah karena menarik, akhirnya saya kepo dong. Mulai baca-baca artikel dan referensi untuk cari tahu lebih tentang apasih minat baca itu? Dan bagimana kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan? Apakah benar anak Indonesia (termasuk saya) tidak suka membaca?

Jadi yang akan dibahas ditulisan ini, beberapa bersumber dari artikel dan tulisan orang yang saya baca di internet (saya tidak copy-paste, hanya membaca dan mencari informasi), hasil diskusi dengan beberapa teman yang memang berkompeten dalam bidang ini, serta dari pengalaman yang saya peroleh selama ini. Ya pengalaman selama beberapa kali ikut kegiatan volunteering di daerah-daerah marjinal dan pinggiran Ibu kota ini.

Pertama, data UNESCO tersebut memang dipublikasikan pada tahun 2012, semoga masih relevan dengan kondisi saat ini tahun 2018. Beberapa sumber lain juga menyebutkan hal yang sama, salah satunya menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara untuk kemampuan di bidang matematika, IPA dan kemampuan membacanya. Ya, jadi secara garis kesimpulannya masih sama, bahwa minat baca anak Indonesia memang rendah.  

Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya terlebih dahulu kita cari tau apa sih minat baca itu dan bagaimana cara mengkurnya. Jadi, Minat baca adalah kesukaan/kegemaran untuk membaca. Beberapa sumber menyebutkan bahwa minat baca suatu negara dapat dilihat dari jumlah penjualan bukunya. Sumber lain menyebutkan bahwa, minat baca seseorang dapat dilihat dari jumlah buku yang dibaca dalam jangka waktu tertentu. Atau jika dalam suatu sekolah/institusi pendidikan dapat dilihat dari jumlah kunjungan siswa ke perpustakaan sekolah.

Data dari Perpustakaan Nasional tahun 2017, menyebutkan bahwa frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya 3-4 kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya 5-9 buku per tahun.

Minat baca akan berbanding lurus dengan kemajuan pendidikan suatu bangsa. Minat baca juga erat huungannya dengan tingkat indeks kualitas Sumber Daya Manusia ( Human Development Index). Karena dengan membaca merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menambah pengetahuan, sikap dan ketrampilan kita. Kepoin mantan juga perlu baca kan? Hehe  Dan apabila minat membaca rendah, maka cenderung akan muncul generasi yang “minta disuapin”.

Mereka yang apa-apa ditanyakan, minta dibuatkan tutorial. Ini banyak kita temukan ketika bersosial media, salah satu contohnya adalah di kolom komentar seorang selebgram ; “Kak itu dimana beli bajunya, harganya berapa?” sedangkan dipostingannya sudah jelas dia menulis dimana dia membeli baju dan tag akun olshop yang jualnya, Jadi apsih susahnya membaca caption atau kalau kurang jelas ya tinggal klik  akun olshopnya dan lihat diketerangan produk. Padahal di era segampang hari ini, apasih yang nggak bisa kita cari di google?

Seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog pernah mengatakan bahwa, minat baca itu adalah sesuatu yang “abstrak” yang penukurannya tidak semudah dilihat dari berapa banyak buku yang dia baca, tapi juga dapat diukur dari pengetahuan yang dimiliki. Saya sering menemui anak-anak SMP-SMA yang bahkan tidak tau siapa nama-nama presiden Indonesia dari pertama hingga sekarang. *menangis*

Data-data tersebut yang digunakan untuk mengukur minat baca (reading score) hingga memunculkan angka yang UNESCO sebutkan itu. Sekarang pertanyaannya, apakah data tersebut mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi di Indonesia? Jawabannya, Iya. Secara statistik data tersebut mewakili kondisi satu negara.

Ah kayaknya enggak deh cha! Perasaan anak-anak disini (Jakarta) pada suka baca deh, perpustakaan juga rame Pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dan saya pun setuju. Tapi ini lah kenyataannya. Meskipun saya yakin ada banyak faktor “x” yang menyebabkan angka minat baca di Indonesia begitu rendah. Tapi memang kenyataanya segawat darurat ini kondisi literasi di Indonesia.


Kemudian, menjawab pertanyaan kedua. Apakah minat baca hanya diukur dari kegiatan membaca buku (fisik) saja? Bagaimanakah dengan era digital yang sekarang serba non-fisik, misalnya e-book?

Untuk kriteria “bahan bacaan” yang digunakan oleh UNESCO hingga menghasilkan data 0.01% ini saya belum mendapatkan sumber jawabannya. Apakah hanya buku dalam bentuk cetak saja ataukah dalam bentuk yang lain. Tapi menurut saya pribadi, membaca disini bukan hanya buku cetak ya, tapi juga segala bentuk bahan bacaan yang lain, seperti e-book, artikel, jurnal online, berita online dan akun lambe-lambean yang dapat memberikan kita pengetahuan tentang suatu hal.

Nah, kemudian muncul pertanyaan lagi “Kenapa minat baca anak di Indonesia rendah? Kira-kira apa penyebabnya?’’ Jadi, berdasarkan pengalaman saya pribadi, rendahnya minat baca anak-anak di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor “x”. Salah satunya adalah sulitnya akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas. Bagi anak-anak yang berasal dari golongan ekonomi rendah, anak-anak marjinal/jalanan dan pedesaan serta mereka yang tinggal di pelosok negeri, buku itu menjadi barang yang “mahal”. Selain harganya yang relaif  mahal, ketersediaannya juga tebatas. Bagaimana bisa suka membaca, jika yang dibaca saja tidak ada? Atau kalaupun ada, kualitas bahan bacaannya tidak sesuai. Misalnya hanya tersedia buku paket pelajaran SMA sedangkan anak-anak mayoritas masih SD, tidak adanya bahan bacaan yang menarik (buku aktifitas, yang banyak gambarnya dll) juga jumlah bukunya yang terbatas.

Selain itu, budaya membaca yang belum banyak dikenalkan di lingkungan keluarga juga menjadi salah satu penyebabnya. Selama ini budaya tutur/lisan seperti mendongeng lah yang lebih banyak diwariskan dari generasi ke generasi. Hal lain juga disebabkan oleh pertimbangan ekonomi, beberapa orang tu menganggap “mahal” untuk membelikan buku bagi anaknya. Dan karena anak adalah peniru yang ulang, maka jika orang tuanya saja tidak suka membaca, tidak ada tumpukan buku dirumahnya, tidak ada aktivitas membaca cerita bersama, ya bagaimana anak-anak akan suka membaca?

Selain itu sistem pembelajaran yang ada di sekolah  masih cenderung pasif, atau ‘menyuapi’ murid juga akan menyebabkan rendahnya minat baca. Karena murid-murid tidak terbiasa mencari sendiri jawaban  atas rasa keingin tauannya. Selain itu karena adanya tontonan di TV dan games HP yang lebih menarik, sehingga anak-anak akan lebih senang bermain daipada membaca buku. Karena membaca dianggap aktifitas yang membosankan dan tidak seru.

Jadi apasih yang bisa kita lakukan untuk meningkakan minat baca kita? Dimulai dari diri sendiri ya. Salah satunya dengan membuat Reading Record (RR) yang dapat digunakan untuk mengukur kegemaran membaca seseorang, yaitu sebuah catatan yang berisi informasi tentang judul buku dan jumlah halaman yang dapat kita baca dalam kurun waktu tertentu. Apasih kegunaannya?

Sebagai record kita, juga sebagai motivasi untuk meningkatkan jumlah bacaan, pemetaan jenis bacaan yang disukai, serta meningkatkan kemampuan apresiasi terhadap suatu karya/bacaan. Jadi kita kan tau mana bacaan yang berbobot dan mana yang tidak. Kemampuan ini akan menjadi penting, terutama di era digital seperti sekarang ini untuk ‘menyaring’ informasi yang masuk, agar tidak termakan oleh hoax dan informasi-informasi yang tidak dapat diperangungjawabkan kebenarannya.

Jika ini sudah bisa kita terapkan untuk kita sendiri, tidak ada salahnya kita mencoba untuk anak-anak sekolah atau rumbel di sekitar kita loh! Dan kabar bahagianya, Buku Berkaki sudah mencoba menerapkan ini “Tabungan Bacaan Buki” di 10 rumbel binaannya. Jadi selain membantu menyediakan bahan bacaan yang berkualitas, Buki juga mencoba untuk mengukur minat baca adik-adiknya. Semoga langkah kecil ini akan terus berjalan. Dan semoga data yang diperoleh bisa lebih mewakili kondisi di lapangan, mungkin bisa dijadikan sebagai Grand Desain (percontohan) untuk menghitung angka minat baca anak Indonesia secara nyata.

Mengutip tagline Buku Berkaki : When a book walks, a dream works

Semoga, lembaran-lembaran buku yang sarat akan ilmu pengetahuan ini tidak ditinggalkan oleh pembacanya. Aamiin