"Kalo nyari istri itu harus yang pinter ya, sarjana lah setidaknya sama kaya kamu”
Biasanya seorang ibu akan berpesan seperti itu kepada anak laki-lakinya yang beranjak dewasa, kira-kira kenapa ya harus nyari calon istri yang 'pintar'?
![]() |
life.idntimes.com |
Kenapa perempuan harus berpendidikan dan berwawasan luas?
Sebelum membahas lebih jauh, saya ganti ya kata 'pintar' menjadi berpendidikan dan berwawasan luas. Karena 'pintar' umumnya hanya merujuk pada kemamuan akademis/nilai saja, sedangkan yang dimaksud oleh calon ibu mertua lebih dari itu ya. hehe
Sebenarnya kalau menurut saya
pribadi, poin pentingnya bukan terletak pada seberapa tinggi ‘gelar’ yang dimiliki,
tetapi pada seberapa luas wawasannya. Namun karena biasanya pengetahuan dan
wawasan akan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, jadi di masyarakat kita kan lebih umum jika dinilai dari tingkat pendidikannya, benar tidak?
Tingkat pendidikan memang penting, tapi bukan berarti jika seorang perempuan
lulusan SMA akan selalu 'kurang baik' dari pada mereka yang sarjana, bukan begitu
ya. Misalnya perempuan yang SMA tersebut mempunyai kemauan dan kesempatan untuk
memperluas pengetahuannya bukan tidak mungkin dia justru lebih unggul dari yang
sarjana. Jadi intinya jangan berhenti untuk meng-upgrade diri ya girls :)
Balik lagi, kenapa perempuan itu
harus berwawasan luas. Salah satu alasan pentingnya adalah bahwa ibu akan
menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya,
akan menjadi manusia yang seperti apa nantinya si anak itu semua bergantung pada pola
pengasuhan orang tua, karena keluarga adalah pondasi bagi anak. Selain itu,
menjadi seorang ibu sejatinya harus tau semua hal. Ibu harus bisa menjadi
manager keuangan keluarga, menjadi guru untuk anak-anaknya, menjadi chef yang
handal bahkan harus menjadi dokter ketika anak-anaknya sakit. Oleh karena itu,
menjadi ibu perlu menguasai berbagai disiplin ilmu, kebayang kan kalau
perempuan tidak berwawasan yang luas?
Terlebih
di era digital dan tanpa batas seperti sekarang ini, jika kita terlalu
tertinggal maka kita yang akan ditinggalkan dunia. Selain itu, juga harus bisa
menyaring berbagai informasi yang sekarang sangat mudah diakses, agar bisa
memilah mana berita yang bermanfaat dan mana yang hoax. Agar menjadi perempuan yang tidak hanya melek teknologi
tetapi juga bijak menggunakannya. Dan satu lagi, sebagai istri seorang perempuan juga harus bisa mejadi 'teman diskusi' yang nyambung buat suaminya, dari urusan pekerjaan hingga isu-isu terupdate. Nggak mau kan suami mencari teman 'diskusi' yang lain hanya karena istrinya nggak nyambung diajak ngobrol?
Tentang perempuan (Ibu) yang bekerja
Bahasan klasik yang selalu
menarik untuk diperdebatkan, hmmm ya debat kusir sih lebih tepatnya. Sedikit
beropini tentang hal ini, bagi saya pribadi, mungkin sebenarnya akan berbeda
jawaban ketika saya berpendapat hari ini dengan kondisi saya belum menikah dan
setelah menikah nanti, atau mungkin juga akan berbeda ketika saya sudah mempunyai anak (menjadi ibu) dan
belum.
Menurut saya, masing-masing dari
kita (perempuan) berhak untuk memandang hal ini dari sudut pandangnya yang
mungkin akan berbeda antara satu dengan yang lain. Dan yang perlu digaris
bawahi adalah, bahwa tidak ada nilai salah dan benar yang mutlak, dan juga
tidak ada siapa yang lebih baik dari siapa. Karena setiap kita (perempuan) itu
istimewa dengan caranya masing-masing.
Saya setuju dengan perempuan yang
bekerja selama mendapatkan izin dari suaminya, dan bagi saya pada prinsinya kerjanya
seorang perempuan itu bukan untuk mencari nafkah karena bukan poin ini yang
akan ditanyakan kepadanya nanti di kehidupan setelah mati, dan tentu dengan
catatan bahwa kerjanya tidak melalaikan
tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri, yaitu mendidik anak dan merawat keluarganya.
Bagi saya perempuan bekerja untuk
aktualisasi dirinya, berkarya dan menjadi ladang kebermanfaatan untuk
sekitarnya bukan untuk mengungguli suami.
Akan berbeda mungkin ketika
kondisi keluarganya jauh lebih membutuhkan kehadirannya, ya maka memilih
menjadi ibu seutuhnya juga tidak salah untuk dilakukan. Dan sebaliknya, ibu rumah tangga
yang kemudian harus menggantikan tugas suami karena beberapa alasan diluar
keinginan dan kehendaknya. Karena sejatinya, kita tidak akan pernah mengetahui
takdir seperti apa yang menanti kita di depan sana. Bekerja sendiri maksudnya
bukan hanya kerja kantoran di luar rumah ya, banyak kok ibu-ibu yang tetap bisa
‘menghasilkan’ dari rumah, seperti menjalankan bisnis online, menjadi penulis
lepas dan lain sebagainya.
Jika diteruskan perdebatan ini tentu tidak akan ada habisnya, jadi yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjadi perempuan yang bahagia, ya bahagia dengan dirinya sendiri dan peran yang sedang mereka jalani saat ini. Karena dari hati yang bahagia akan lahir ketulusan dalam berkarya.
"Satu lagi, untuk perempuan-perempuan di seluruh dunia, tetaplah menjadi perempuan tangguh yang penuh cinta, yang tatapan matanya meneduhkan, yang pelukan dan pangkuannya menjadi tempat kembali yang selalu dirindukan"