Data dari UNESCO (2012)
menyebutkan bahwa presetase minat baca anak Indonesia sebesar 0.001 %, yang
artinya dari 1.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca.
Beberapa hari yang lalu saya
menulis fakta tersebut di Instagram story
dengan latar berupa foto rak buku di salah satu kelas di SDN 02 Tirtayasa
Banten yang kondisinya memprihatinkan, ya jumlah bukunya bisa dihitung jari dan
kondisinya sebagian besar sudah tidak bersampul dan telah berubah warna
kertasnya, raknya pun sudah rapuh, hmm
mungkin sudah uzur usianya.
![]() |
Rak buku di salah satu kelas di SDN Tirtayasa 2 Serang Banten |
Dan setelah itu, berdatanganlah
beberapa DM (Direct Massage) ke
instagram saya, sebagian besar berkomentar seperti ini :
Ah kayaknya salah deh cha! Itu UNESCO ngambil datanya dari mana? Yakin udah mewakili kondisi satu negara?
Anak-anak Indonesia suka baca kok cha! Anak Milenial mah bacanya udah digital sekarang, tuh buktinya hobi bacain IG story kaya gini, postingan akun lambe-lambean bahkan mantengin kolom komentar IG artis buat bacain nyinyiran dan komen julid dari netijen. Haha *ketawa jahat ; ini sindiran ya :(
Nah karena menarik, akhirnya saya
kepo dong. Mulai baca-baca artikel dan referensi untuk cari tahu lebih tentang apasih minat baca itu? Dan bagimana
kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan? Apakah benar anak Indonesia
(termasuk saya) tidak suka membaca?
Jadi yang akan dibahas ditulisan
ini, beberapa bersumber dari artikel dan tulisan orang yang saya baca di
internet (saya tidak copy-paste, hanya membaca dan mencari informasi), hasil
diskusi dengan beberapa teman yang memang berkompeten dalam bidang ini, serta
dari pengalaman yang saya peroleh selama ini. Ya pengalaman selama beberapa
kali ikut kegiatan volunteering di daerah-daerah marjinal dan pinggiran Ibu
kota ini.
Pertama, data UNESCO tersebut
memang dipublikasikan pada tahun 2012, semoga masih relevan dengan kondisi saat
ini tahun 2018. Beberapa sumber lain juga menyebutkan hal yang sama, salah
satunya menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara
untuk kemampuan di bidang matematika, IPA dan kemampuan membacanya. Ya, jadi
secara garis kesimpulannya masih sama, bahwa minat baca anak Indonesia memang
rendah.
Sebelum membahas lebih jauh, ada
baiknya terlebih dahulu kita cari tau apa sih
minat baca itu dan bagaimana cara mengkurnya. Jadi, Minat baca adalah kesukaan/kegemaran untuk membaca. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa minat baca suatu negara dapat dilihat dari jumlah penjualan
bukunya. Sumber lain menyebutkan bahwa, minat baca seseorang dapat dilihat dari
jumlah buku yang dibaca dalam jangka waktu tertentu. Atau jika dalam suatu
sekolah/institusi pendidikan dapat dilihat dari jumlah kunjungan siswa ke
perpustakaan sekolah.
Data dari Perpustakaan Nasional
tahun 2017, menyebutkan bahwa frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya
3-4 kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya 5-9 buku
per tahun.
Minat baca akan berbanding lurus
dengan kemajuan pendidikan suatu bangsa. Minat baca juga erat huungannya dengan
tingkat indeks kualitas Sumber Daya Manusia ( Human Development Index). Karena dengan membaca merupakan cara yang
dapat dilakukan untuk menambah pengetahuan, sikap dan ketrampilan kita. Kepoin
mantan juga perlu baca kan? Hehe Dan
apabila minat membaca rendah, maka cenderung akan muncul generasi yang “minta disuapin”.
Mereka yang apa-apa ditanyakan, minta dibuatkan tutorial. Ini banyak
kita temukan ketika bersosial media, salah satu contohnya adalah di kolom
komentar seorang selebgram ; “Kak itu dimana beli bajunya, harganya berapa?”
sedangkan dipostingannya sudah jelas dia menulis dimana dia membeli baju dan
tag akun olshop yang jualnya, Jadi apsih susahnya membaca caption atau kalau
kurang jelas ya tinggal klik akun
olshopnya dan lihat diketerangan produk. Padahal di era segampang hari ini,
apasih yang nggak bisa kita cari di google?
Seorang teman yang berprofesi
sebagai psikolog pernah mengatakan bahwa, minat baca itu adalah sesuatu yang
“abstrak” yang penukurannya tidak semudah dilihat dari berapa banyak buku yang
dia baca, tapi juga dapat diukur dari pengetahuan yang dimiliki. Saya sering
menemui anak-anak SMP-SMA yang bahkan tidak tau siapa nama-nama presiden
Indonesia dari pertama hingga sekarang. *menangis*
Data-data tersebut yang digunakan
untuk mengukur minat baca (reading score)
hingga memunculkan angka yang UNESCO sebutkan itu. Sekarang pertanyaannya,
apakah data tersebut mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi di Indonesia?
Jawabannya, Iya. Secara statistik data tersebut mewakili kondisi satu negara.
Ah kayaknya enggak deh cha! Perasaan anak-anak disini (Jakarta) pada
suka baca deh, perpustakaan juga rame Pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan
semacam itu, dan saya pun setuju. Tapi ini lah kenyataannya. Meskipun saya
yakin ada banyak faktor “x” yang menyebabkan angka minat baca di Indonesia
begitu rendah. Tapi memang kenyataanya segawat darurat ini kondisi literasi di
Indonesia.
Kemudian, menjawab pertanyaan
kedua. Apakah minat baca hanya diukur
dari kegiatan membaca buku (fisik) saja? Bagaimanakah dengan era digital yang
sekarang serba non-fisik, misalnya e-book?
Untuk kriteria “bahan bacaan”
yang digunakan oleh UNESCO hingga menghasilkan data 0.01% ini saya belum
mendapatkan sumber jawabannya. Apakah hanya buku dalam bentuk cetak saja
ataukah dalam bentuk yang lain. Tapi menurut saya pribadi, membaca disini bukan
hanya buku cetak ya, tapi juga segala bentuk bahan bacaan yang lain, seperti
e-book, artikel, jurnal online, berita online dan akun lambe-lambean
yang dapat memberikan kita pengetahuan tentang suatu hal.
Nah, kemudian muncul pertanyaan
lagi “Kenapa minat baca anak di Indonesia rendah? Kira-kira apa penyebabnya?’’
Jadi, berdasarkan pengalaman saya pribadi, rendahnya minat baca anak-anak di
Indonesia disebabkan oleh banyak faktor “x”. Salah satunya adalah sulitnya
akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas. Bagi anak-anak yang berasal dari
golongan ekonomi rendah, anak-anak marjinal/jalanan dan pedesaan serta mereka
yang tinggal di pelosok negeri, buku itu menjadi barang yang “mahal”. Selain
harganya yang relaif mahal,
ketersediaannya juga tebatas. Bagaimana bisa suka membaca, jika yang dibaca
saja tidak ada? Atau kalaupun ada, kualitas bahan bacaannya tidak sesuai.
Misalnya hanya tersedia buku paket pelajaran SMA sedangkan anak-anak mayoritas
masih SD, tidak adanya bahan bacaan yang menarik (buku aktifitas, yang banyak
gambarnya dll) juga jumlah bukunya yang terbatas.
Selain itu, budaya membaca yang
belum banyak dikenalkan di lingkungan keluarga juga menjadi salah satu
penyebabnya. Selama ini budaya tutur/lisan seperti mendongeng lah yang lebih
banyak diwariskan dari generasi ke generasi. Hal lain juga disebabkan oleh
pertimbangan ekonomi, beberapa orang tu menganggap “mahal” untuk membelikan
buku bagi anaknya. Dan karena anak adalah peniru yang ulang, maka jika orang
tuanya saja tidak suka membaca, tidak ada tumpukan buku dirumahnya, tidak ada
aktivitas membaca cerita bersama, ya bagaimana anak-anak akan suka membaca?
Selain itu sistem pembelajaran
yang ada di sekolah masih cenderung
pasif, atau ‘menyuapi’ murid juga akan menyebabkan rendahnya minat baca. Karena
murid-murid tidak terbiasa mencari sendiri jawaban atas rasa keingin tauannya. Selain itu karena
adanya tontonan di TV dan games HP yang lebih menarik, sehingga anak-anak akan
lebih senang bermain daipada membaca buku. Karena membaca dianggap aktifitas
yang membosankan dan tidak seru.
Jadi apasih yang bisa kita
lakukan untuk meningkakan minat baca kita? Dimulai dari diri sendiri ya. Salah
satunya dengan membuat Reading Record
(RR) yang dapat digunakan untuk mengukur kegemaran membaca seseorang, yaitu
sebuah catatan yang berisi informasi tentang judul buku dan jumlah halaman yang
dapat kita baca dalam kurun waktu tertentu. Apasih
kegunaannya?
Sebagai record kita, juga sebagai
motivasi untuk meningkatkan jumlah bacaan, pemetaan jenis bacaan yang disukai,
serta meningkatkan kemampuan apresiasi terhadap suatu karya/bacaan. Jadi kita
kan tau mana bacaan yang berbobot dan mana yang tidak. Kemampuan ini akan
menjadi penting, terutama di era digital seperti sekarang ini untuk ‘menyaring’
informasi yang masuk, agar tidak termakan oleh hoax dan informasi-informasi
yang tidak dapat diperangungjawabkan kebenarannya.
Jika ini sudah bisa kita terapkan
untuk kita sendiri, tidak ada salahnya kita mencoba untuk anak-anak sekolah
atau rumbel di sekitar kita loh! Dan
kabar bahagianya, Buku Berkaki sudah mencoba menerapkan ini “Tabungan Bacaan Buki”
di 10 rumbel binaannya. Jadi selain membantu menyediakan bahan bacaan yang
berkualitas, Buki juga mencoba untuk mengukur minat baca adik-adiknya. Semoga
langkah kecil ini akan terus berjalan. Dan semoga data yang diperoleh bisa
lebih mewakili kondisi di lapangan, mungkin bisa dijadikan sebagai Grand Desain (percontohan) untuk
menghitung angka minat baca anak Indonesia secara nyata.
Mengutip tagline Buku Berkaki : When a book walks, a dream works
Semoga, lembaran-lembaran buku yang sarat akan ilmu pengetahuan ini tidak ditinggalkan oleh pembacanya. Aamiin