Bocah
Pemulung Sampah
Pemandangan
seperti ini tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Lihatlah bocah lelaki ini,
disaat anak-anak seumurannya sedang asyik bermain dan bercanda riang. Bocah ini
justru harus berjuang keras berkutat dengan tumpukan sampah dan bau tidak sedap.
Mengais rejeki dari tempat sampah satu ke tempat sampah yang lain. Tentu bukan
keinginannya untuk menjadi seperti ini. Tapi keadaanlah yang memaksanya.
Memaksanya meninggalkan indahnya masa-masa bermainnya.
Ayah
ibu mana yang menginginkan anak-anaknya
menjadi seperti ini? Tentu tidak ada. Hati orang tua mana yang tidak merintih
melihat pemandangan seperti ini. Begitu pun dengan orang tua bocah lelaki ini,
tentu mereka tidak pernah berharap melihat anaknya mengais-ngais tempat sampah
hanya demi sesuap nasi atau sebatang permen lollipop manis kesukaan anak-anak
sebayanya. Tetapi apa daya, saat permasalahan-permasalahan ekonomi klasik
membelenggunya. Mereka terpaksa merelakan buah hatinya mengais nafkah dengan
tangan-tangan mungil itu. Bukan tanpa sebab, semua ini demi urusan perut dan
perkara menyambung hidup.
Sudah
sepantasnya kita menghargai dan belajar banyak darinya. Diusianya yang masih
sangat belia, bocah ini sudah mengerti tentang kerasnya kehidupan ini. Tentang
kerja keras, perjuangan, dan kemandirian. Mereka terdidik bukan untuk menjadi
seorang yang pemalas. Mereka bukanlah anak-anak manja yang senantiasa merengek
dan berlindung di bawah ketiak ibunya. Meskipun pekerjaan yang dijalaninya ini sering
dianggap menjijikkan serta dipadang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Namun,
mereka jauh lebih baik dari orang-orang yang hanya berpangku tangan dan
mengharap belas kasihan orang lain.
Jadi,
masih pantaskah kita mengeluh dan tidak bersyukur dengan keadaan kita saat ini?
Tidak sadarkah kita, bahwa kita jauh lebih beruntung darinya?
0 komentar:
Post a Comment